Posted by : Unknown
Thursday, December 20, 2012
Pada postingan kali ini, akan membahas mengenai gerakan mahasiswa di era NKK/BKK, peristiwa amarah di UMI hingga pada kritikan terhadap gerakan mahasiswa masa kini. Mahasiswa masa kini cenderung reaktif, gerkan terpatah dan tergantung figur pemimpinnya. Banyak mahasiswa kini ber_almamater dengan bau wangi hanya untuk menjadi "boneka" dalam acara hiburan dan talkshow yang tidak berhubungan dengan karakter kemahasiswaannya. Lihat saja di OVJ, Empat Mata, Hitam Putih dsb. Gerakan yang dipenuhi dengan rasa frustasi yang cenderung anarkis. Ini bisa saja dari mahasiswanya, tapi bagi saya adalah ini karena adanya pola yang tidak beres di dalam kampus. Entah itu tendensi psikologis ataupun apa??? Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. murid hanyalah akibat dari sebuah sebab (Guru). mungkin juga itu terjadi di dalam kampus.
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Tahun 1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
24 April 1996 (Amarah UMI Makassar)
Amarah sendiri adalah pada saat itu, banyak element mahasiswa turun ke jalan atau berdemonstrasi dalam mementang kebijakan pemerintah Kota Makassar menaikkan tarif Pete-pete (tarif angkutan dalam kota), dalam hal ini yang menjabat walikota Makassar waktu itu adalah H. Malik B. masry. April Makassar Berdarah 24 April 1996 lalu berawal saat mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menentang kenaikan tarif angkutan umum yang telah mendapat persetujuan dari Walikota Makassar, H Malik B Masry. Aksi penolakan tersebut dilakukan selama kurang lebih sepekan secara terus- menerus. Pada 24 April 1996, terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat TNI, dimana TNI membalas lemparan mahasiswa dengan tembakan peluru tajam ke arah mahasiswa, bahkan aparat TNI masuk ke dalam kampus dengan membawa tiga unit panser. Tiga orang mahasiswa tewas dalam peristiwa itu masing-masing:
1. Andi Sultan Iskandar (Fakultas Ekonomi),
2. Syaiful Bya (Tekhnik)
3. Tasrif, aktivis mahasiswa UMI.
Tahun 1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu.
Tahun 1999-2012an (Pasca Reformasi)
Pasca di tetapkannya UU BHP oleh MK (mahkamah konstitusi) sebagai UU yang inkonstitusional, gerakan mahasiswa cenderung terpatah-patah dan kurang solid. Padahal di balik di tetapkannya UU tersebut, muncul PP (peraturan pemerintah) yang pada dasarnya sama subtansinya. Makassar, yang sejak dulu ,menjadi patron gerakan mahasiswa Indonesia Timur pun kini tak memiliki kesolidan yang baik. Tingginya kepentingan politik masing-masing kampus, menjadikan kegiatan-kegiatan skala nasional kurang berjalan dengan baik. Harmonisasi Indonesia Barat dan Timur seakan dipenuhi nuansa Primordial sehingga temu mahasiswa se Indonesia tak pernah melahirkan satu visi perubahan. Gerakan kemahasiswaan setipa kampus pun kini tak segarang pra reformasi, adanya otonomi kampus dan berbagai aturan akademi kampus menjadikan mahasiswa disibukkan dengan akademik yang bernuansa penuh tekanan psikologis (ntah itu tendensi psikologis maupun tendensi dana). Kebijakan kelembagaan pun tergantung pemimpin yang terpilih. Sehingga memunculkan gejolak didalam diri mahasiswa secara terus menerus namun tidak menghasilkan sebuah perubahan yang signifikan. Hasilnya, hanya melahirkan gerakan mahasiswa yang menganut paham selebrisis (ntah 1 atau puluhan orang aksi, yang penting tutup jalan dan masuk tv), anarkisme gerakan dengan aparat menjadi target gerakan sehingga issue-issue yang diangkat dalam aksi tidak lagi tersampaikan dengan baik. Media hanya merespon reaksi dari aksi tersebut. Inilah gerakan mahasiswa masa kini. Tingginya tendensi kampus mengakibatkan gerakan terpatah-patah, pemimpin yang premature dan aksi yang anarkis. Ditambah lagi, kini mahasiswa tak lagi mengetahui fungsi dasarnya sebagai mahasiswa, mereka tak ubahnya selebriti dengan dandanan kinclong dan jas almamater dengan parfum mahal, dan kemudian hanya mampu teriak “ya ya ya ye ye ye” dan bertepuk tangan disaat menjadi penonton di acara hiburan stasiun tv, yang notabene bukan tempat mereka. Apa bedanya mereka dengan alay tv yah?? Hehehehe…
Namun dibalik cerita tersebut, masih ada segelintir mahasiswa yang punya nurani untuk melakukan perubahan, namun mereka tak terwadahi dengan baik.
Baca Juga artike dibawah ini :
1. Sejarah Gerakan Mahasiswa (bagian 1)
2. Sejarah Gerakan Mahasiswa (bagian 2)
3. Komitemen Berlembaga
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
24 April 1996 (Amarah UMI Makassar)
Amarah sendiri adalah pada saat itu, banyak element mahasiswa turun ke jalan atau berdemonstrasi dalam mementang kebijakan pemerintah Kota Makassar menaikkan tarif Pete-pete (tarif angkutan dalam kota), dalam hal ini yang menjabat walikota Makassar waktu itu adalah H. Malik B. masry. April Makassar Berdarah 24 April 1996 lalu berawal saat mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menentang kenaikan tarif angkutan umum yang telah mendapat persetujuan dari Walikota Makassar, H Malik B Masry. Aksi penolakan tersebut dilakukan selama kurang lebih sepekan secara terus- menerus. Pada 24 April 1996, terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat TNI, dimana TNI membalas lemparan mahasiswa dengan tembakan peluru tajam ke arah mahasiswa, bahkan aparat TNI masuk ke dalam kampus dengan membawa tiga unit panser. Tiga orang mahasiswa tewas dalam peristiwa itu masing-masing:
1. Andi Sultan Iskandar (Fakultas Ekonomi),
2. Syaiful Bya (Tekhnik)
3. Tasrif, aktivis mahasiswa UMI.
Tahun 1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu.
Tahun 1999-2012an (Pasca Reformasi)
Pasca di tetapkannya UU BHP oleh MK (mahkamah konstitusi) sebagai UU yang inkonstitusional, gerakan mahasiswa cenderung terpatah-patah dan kurang solid. Padahal di balik di tetapkannya UU tersebut, muncul PP (peraturan pemerintah) yang pada dasarnya sama subtansinya. Makassar, yang sejak dulu ,menjadi patron gerakan mahasiswa Indonesia Timur pun kini tak memiliki kesolidan yang baik. Tingginya kepentingan politik masing-masing kampus, menjadikan kegiatan-kegiatan skala nasional kurang berjalan dengan baik. Harmonisasi Indonesia Barat dan Timur seakan dipenuhi nuansa Primordial sehingga temu mahasiswa se Indonesia tak pernah melahirkan satu visi perubahan. Gerakan kemahasiswaan setipa kampus pun kini tak segarang pra reformasi, adanya otonomi kampus dan berbagai aturan akademi kampus menjadikan mahasiswa disibukkan dengan akademik yang bernuansa penuh tekanan psikologis (ntah itu tendensi psikologis maupun tendensi dana). Kebijakan kelembagaan pun tergantung pemimpin yang terpilih. Sehingga memunculkan gejolak didalam diri mahasiswa secara terus menerus namun tidak menghasilkan sebuah perubahan yang signifikan. Hasilnya, hanya melahirkan gerakan mahasiswa yang menganut paham selebrisis (ntah 1 atau puluhan orang aksi, yang penting tutup jalan dan masuk tv), anarkisme gerakan dengan aparat menjadi target gerakan sehingga issue-issue yang diangkat dalam aksi tidak lagi tersampaikan dengan baik. Media hanya merespon reaksi dari aksi tersebut. Inilah gerakan mahasiswa masa kini. Tingginya tendensi kampus mengakibatkan gerakan terpatah-patah, pemimpin yang premature dan aksi yang anarkis. Ditambah lagi, kini mahasiswa tak lagi mengetahui fungsi dasarnya sebagai mahasiswa, mereka tak ubahnya selebriti dengan dandanan kinclong dan jas almamater dengan parfum mahal, dan kemudian hanya mampu teriak “ya ya ya ye ye ye” dan bertepuk tangan disaat menjadi penonton di acara hiburan stasiun tv, yang notabene bukan tempat mereka. Apa bedanya mereka dengan alay tv yah?? Hehehehe…
Namun dibalik cerita tersebut, masih ada segelintir mahasiswa yang punya nurani untuk melakukan perubahan, namun mereka tak terwadahi dengan baik.
Baca Juga artike dibawah ini :
1. Sejarah Gerakan Mahasiswa (bagian 1)
2. Sejarah Gerakan Mahasiswa (bagian 2)
3. Komitemen Berlembaga