Posted by : Unknown
Tuesday, December 18, 2012
Secara naluriah, sejak dulu, berbagai bangsa di dunia bernafsu saling menguasai
bangsa lain agar mendapat sumber daya untuk mempertahankan kelangsungan
kekuasaan dan kesejahteraan. Hegemoni muncul setelah terjadi penguasaan satu
kelompok atas kelompok lain dengan atau tanpa kekerasan. Di masa lalu,
penguasaan ditempuh dengan invasi militer. Meski kondisinya menipis, kebutuhan
akan sumber daya alam terus meningkat. Maka, dapat dipahami jika praktik
intervensi satu negara atas negara lain masih terus terjadi. Selain untuk
mewujudkan kondisi geopolitik yang menguntungkan, intervensi juga untuk
kepentingan ”pengisapan” sumber daya alam. Hanya saja, caranya lebih canggih, tidak
lagi menggunakan pendekatan militer, tetapi lebih menggunakan front
multidimensional (ideologi, politik ekonomi, dan budaya) yang memanfaatkan
kemajuan teknologi, serta konsep manajemen yang canggih. Ibaratnya kini, armada-armada tempur digantikan lembaga-lembaga internasional
yang amat berpengaruh (IMF, Bank Dunia, WTO, CGI, dan sebagainya).
Divisi-divisi tempur diganti perusahaan raksasa transnasional yang nantinya
akan menjadi asset dan modal awal untuk melakukan penindasan secara menyeluruh
namun bukan perang secara fisik tapi perang urat syaraf akan kembali berjaya
dan dilakonkan oleh Negara-negara yang menganggap dirinya telah besar. Amunisi
dan peluru diganti mata uang dan surat-surat berharga yang dikendalikan dengan
amat piawai. Kegiatan intelijen tak lagi terbatas mengetahui kegiatan lawan,
tetapi dirancang untuk menciptakan kekacauan dan melumpuhkan sistem pertahanan
suatu negara agar memiliki ketergantungan kepada negara adidaya. Tembakan
meriam dan peluru kendali digantikan oleh pengiriman bantuan yang mengikat,
ideologi, dan budaya baru yang membingungkan generasi muda, serta menciptakan
LSM-LSM dan birokrasi yang tunduk kepada kemauan negara adidaya.
Jika semua itu berhasil dilakukan, maka inilah yang disebut dengan hegemoni
adidaya.
Posisi Indonesia
Jika kita berani jujur, sebenarnya Indonesia telah masuk penguasaan hegemoni
adidaya dan percaturan dogma Clash of Civilization. Daftar pertanyaan amat
sederhana ini dapat menjadi indikator posisi kita. Jawaban yang lebih banyak
”ya” daripada ”tidak” berarti Indonesia bebas dari hegemoni adidaya, atau
sebaliknya.
Daftar pertanyaan itu: (1) Apakah sebagai negara bangsa, Pancasila sebagai
ideologi bangsa masih dipahami dan dibanggakan oleh generasi mudanya?; (2)
Apakah semangat nasionalisme di antara rakyat masih dapat dipertahankan?; (3)
Apakah demokrasi yang dikembangkan sudah sesuai jati diri bangsa dan dipahami
oleh seluruh rakyatnya?; (4) Apakah Indonesia telah mampu membayar
utang-utangnya tanpa mengganggu usaha menyejahterakan rakyat?; (5) Apakah
perusahaan besar yang menguasai hajat hidup rakyat dikuasai modal dalam
negeri?; (6) Apakah sebagai negara agraris kita telah mampu berswasembada
pangan?; (7) Apakah masyarakat Islam yang menjadi mayoritas penduduk mampu
bersatu mewarnai kebersamaan untuk menolak hegemoni?; (8) Apakah pemerintah
yang mewakili rakyat Indonesia berani menentang keputusan IMF?; dan (9) Apakah
militer kita masih diperhitungkan sebagai kekuatan andal di Asia Tenggara?
Di tengah bayang-bayang hegemoni adidaya, ada dua pilihan. Pertama, menyerah
dan menggadaikan masa depan bangsa kepada pihak asing tanpa dapat menentukan
nasib sendiri. Menyedihkan. Namun, pilihan ini tak merepotkan, utamanya bagi
para tokoh bangsa yang saat ini sedang dipercaya rakyat untuk melanggengkan kekuasaannya
memimpin Indonesia.
Kedua, bangkit sebagai bangsa penuh harga diri dan martabat yang memiliki masa
depan lebih baik untuk generasi berikutnya. Pilihan ini tidak mudah sebab
mempersyaratkan keberanian, kebersamaan, semangat pantang menyerah, dan ”berani
menderita” dari seluruh rakyatnya. Yang lebih penting lagi, dibutuhkan
keberanian para pemimpinnya untuk keluar dari ”ketertindasan”, dengan risiko
paling buruk sekalipun.
Akan banyak orang meragukan, mungkinkah pilihan kedua itu dapat dilakukan. Namun,
mari lihat Vietnam. Negeri yang baru lepas dari perang puluhan tahun dan
meluluhlantakkan sendi- sendi nasionalnya itu dalam waktu singkat telah
berkembang secara spektakuler. Lihat pula Malaysia. Keteguhannya melawan
cengkeraman hegemoni adidaya telah mampu membawa bangsanya terhindar dari nasib
seperti Indonesia. Pada akhirnya, sejarahlah yang akan membuktikannya nanti
(dikutip dalam tulisan : JEND. TNI (PURN) WIRANTO)
Posisi Mahasiswa
Dengan melihat kondisi diatas maka selain pemerintah, sosok seorang mahasiswa
sangat pila diperlukan. Seiring gerak dan perubahan zaman yang terjadi dinegeri
ini, mulai dari proses proklamasi bangsa ini, era orde lama, orde baru, dan era
reformasi yang telah memasuki usia 10 tahunnya. Tidak ada satupun perubahan
mendasar yang terjadi dinegeri ini yang tidak luput dari peran-peran Mahasiswa,
yang pada dasarnya merupakan salah satu aktualisasi dari perang mahasiswa
sebagai salah satu bentuk pengabdian terhadap masyarakat yang tertuang dalam
Tridarma perguruan tinggi. Dimana dalam tridarma perguruan tinggi, tugas yang
ada diembang mahasiswacukuplah jelas apalagi ketika kita berbicara mengenai
sosial kemasyarakatan tantunya kaliamat ”sosial kontrol” tak lagi asing
ditelinga orang-orang yang menganggap dirinya sebagai seorang ontelek sejati. .
Mahasiswa sebagai kaum intelektual mestinya jeli melihat kondisi masyarakat
saat ini, karena skali lagi itu memang sudah merupakan salah satu tugas dan
tanggungjawabnya.
Peran-peran mahasiswa dalam mengantarkan bangsa ini khususnya masyarakat menuju
kondisi idealnya itu tidak pernah sedikit pun lepas dari berbagai polemik yang
kian datang silih berganti selalu berusaha mencekoki gerakan mahasiswa. Padahal
menurut salah seorang filosof muslim Ali Syariati bahwa dalam sturktur
masyarakat yang menempati piramida piramida paling atas adalah kaum-kaum
tercerahkan dan yang dimaksud kaum tercerahkan disini adalah mahasiswa,
walaupun sebenarnya tidak semua mahasiswa masuk pada kategori tercerahkan.
Ketika kita mau mengacu pada proses gerakan mahasiswa, terlalu banyak dangan
masyarakat yang harus kita perhatikan, namun yang jelasnya mahasiswa haruslah
memenuhi beberapa aspek yang harus ia pertanyakan dalam dirinya, meliputi :
- Sejauh mana mahasiswa itu mengetahui persoalan masyarakat
- Sejauh mana konsep gerakan mahasiswa yang ia kuasai
- Strategi apa yang akan membantu dalam melakukan gerakan kemahasiswaan.
Dengan melihat sebuah fenomena yang terjadi sejauh ini, terkadang pergerakan
kemahasiswaan telah melakukan pergeseran tradisi. Kehidupan kemasiswaan
hanyalah sebatas kehidupan bersekretariat, malakukan program kerja ataukah
sesekali hanya melakukan aksi ataukah demonstrasi yang ujung-ujungnya hanya
bisa dikatakan ”panas-panas tai ayam”. Sebuah pergeseran yang sangat jauh dari
sebuah subtantivitas pergerakan mahasiswa.
Melihat kenyataan itu, hanya ada satu pertanyaan awal yang akan terucap dari
mulut si-penulis: Apakah kau akan terus terdiam melihat hal itu yang secara
terus-menerus mengikis tradisi keeksisitensian mahasiswa?
Secara naluri, jawabannya mungkin adalah ”tidak” tapi lagi-lagi semua
bergantung pada siapa yang yang menganggap dirinya mahasiswa.
Sadar atau tidak sadar, mahasiswa juga merupakan sebuah kekuatan politis dari
sebuah negara, olehnya itu ketika kita tidak mampu memperkokoh pondasi dan
bersatu dalam sebuah kehidupan kelembagaan maka sebuah dominasi dan hegemoni
akan melihtnya sebagai celah untuk melakukan perombakan dalam sebuah kehidupan
ketatanegaraan.
Sebuah pertanyaan akan kembali terucap ” apakah semangat nasionalisme sebagai
rakyat masih akan mampu dipertahankan???
Sebuah solusi yang mungkin hanya bisa ditertawai oleh segelintir atau semua
orang. Ketika kita tidak memulai dari hal yang terkecil maka
sesuatu itu tak akan mampu menjadi besar. Solusinya adalah :
- Mempertegas komitmen berlembaga
- Membangun komunitas kreatif untuk melawan sebuah dominasi tanpa dengan fisik dan uang tapi dengan kekuatan pikiran.